ASAL USUL INDUSTRI KRETEK

Sudah puluhan tahun Kudus terkenal dengan industri rokok kretek walaupun daerah itu tidak menghasilkan tembakau. Pabriknya besar-besar dan produksinya dipasarkan ke seluruh penjuru Nusantara, bahkan juga diekspor ke luar negeri. Industri kretek Kudus merupakan salah satu sumber penghasilan Indonesia. Nah, bagaimana asal usulnya dikisahkan sebagai berikut.
Pada zaman berkuasanya Prabu Brawijaya di Kerajaan Majapahit, hilanglah putri kesayangan yang bernama Dewi Nawangsekar dari istana. Tentu saja peristiwa itu mengejutkan seluruh kalangan istana sehingga Prabu Brawijaya memerintahkan pencariannya kepada sang Patih.
“Siapa tahu yang metarikan Dewi Nawangsekar adalah si pelukis istana yang sedang
ditugasi menggambar hiasan-hiasan keraton,” pikir sang Patih setetah memohon izin meninggalkan musyawarah di istana.
“Jika demikian dugaan Gusti Patih, baiklah kita menuju rumah Ki Sungging Adiluwih. Barangkali dia pun mengetahuinya. Lagi pula sudah lama Ki Sungging tidak menghadap ke istana,” ujar seorang pungggawa keraton yang sudah bersiap mengiringi patihnya.
Tidak lama kemudian, sampailah mereka ke padepokan (sanggar) Ki Sungging Adiluwih. Waktu itu tampaklah Ki Sungging sedang mengajar melukis bagi kedua putranya yang tampan. Tentu saja Ki Sungging Adiluwih bergegas menyambutnya dengan ramah dan santun, sambil memohon keterangan tentang maksud kedatangan sang Patih. Dengan ringkas dan jelas dikisahkan hilangnya sang Putri Dewi Nawangsekar dan dimintalah tanggung jawab Ki Sungging Adiluwih.
Demi mendengar peristiwa itu, Ki Sungging Adiluwih hanya dapat memohon ampun dan menegaskan ketidaktahuannya karena memang sudah sekian lama tidak sempat menghadap sang Prabu. Akan tetapi, jawaban itu tidak didengar oleh Ki Patih yang tetap bertahan pada pendapatnya. Kemudian, terjadilah perdebatan yang sengit dan berkembang menjadi perang yang seru. Karena kekuatan prajurit Ki Patih memang berlebihan, pada akhirnya Ki Sungging Adiluwih terpaksa menyerah kalah dan bersedia dihadapkan ke istana Majapahit. Hatinya sudah merasa ikhlas dan pasrah untuk menerima hukuman apa pun. Sambil berharap kedua anaknya yang telah melarikan diri di saat pecah perang itu akan dapat mencari kehidupan ke mana pun arahnya. Dengan demikian, garis keturunannya akan terus bersambung, seandainya harus menjalani hukuman mati.
Di hadapan persidangan istana itu, Ki Sungging Adiluwih tetap bertahan pada pendiriannya bahwa dirinya memang tidak mengetahui sama sekali kisah hilangnya Dewi Nawangsekar. Ternyata kokohnya pendirian itu menjadikan luluhnya hati Prabu Brawijaya, sehingga hukumannya berupa permainan yang aneh untuk menguji kehebatan Ki Sungging Adiluwih. Beginilah kira-kira kata sang Prabu Brawijaya.
“Hai, Ki Sungging Adiluwih, kuperintahkan kepadamu untuk melukis wajah putriku Dewi Nawangsekar di langit
biru, biar semua rakyatku menyaksikan kehebatanmu. Caranya ialah melukis wajah seorang putri yang cantik jelita di kertas layang-layang yang akan segera diterbangkan oleh para prajurit Majapahit.”
Mendengar perintah hukuman itu, Ki Sungging Adiluwih terpaksa menyatakan kesediaannya. Dalam benaknya terpikir bahwa ajalnya akan bernasib malang, karena pastilah terjatuh dari langit biru yang tinggi. Akan tetapi, tekadnya bulat untuk berserah diri kepada sang Pencipta, sebab yakinlah dia bahwa hidup dan mati setiap orang berada di tangan-Nya.
Sebuah layang-layang yang lebar dengan talinya yang besar dan sangat panjang telah dipersiapkan oleh para prajurit di alun-alun atau halaman keraton Majapahit. Peristiwa yang langka itu pun disiarkan ke seluruh penjuru kota kerajaan sehingga berduyun-duyunlah orang hendak menyaksikan kehebatan Ki Sungging Adiluwih. Sementara itu, Ki Sungging sendiri sudah berkemas dengan alat-alat melukis dan sekantung tembakau kegemarannya. Kemudian, diikatlah sepenggal kayu melintang di bawah layang-layang itu sebagai tempat duduknya.
Bersamaan dengan naiknya layang-layang itu ke langit biru, terdengarlah sorak-sorai seluruh penonton yang memadati halaman depan istana. Ada yang terkagum-kagum, ada yang terharu, ada yang ketakutan, dan ada pula yang berolok-olok. Namun, semua itu dianggap sepi oleh Ki Sungging Adiluwih yang segera melaksanakan perintah sang Raja.
Layang-layang itu terbang semakin tinggi ditiup angin ke barat laut. Tali pun terpaksa dilepaskan karena tarikannya terasa semakin kencang sehingga tak dapat dikendalikan lagi oleh para prajurit. Orang-orang pun bubarlah dengan perasaan, dugaan, dan angan-angan yang beragam. Ki Sungging Adiluwih sendiri justru merasakan kenikmatan yang indah, karena dapat memandang Tanah Jawa dan jagad raya yang mahaluas sebagai bukti keagungan sang Pencipta.
Saat itu, teringatlah dia pada kantung tembakaunya dan berniatlah merokok untuk mengendorkan keletihan¬nya. Namun, kantung itu terjatuh diterpa angin dan tembakaunya beterbangan sehingga urunglah niatnya merokok. Meskipun hatinya kecewa, Ki Sungging tak pernah mengumpat. Sambil tersenyum dia pun berujar lembut, “Gusti Yang Pemurah, izinkahlah hamba memohon kelak daerah yang kejatuhan kantungku ini akan makmur dan terkenal karena tembakau atau rokoknya.”
Sesaat kemudian, jatuh jugalah pisaunya diterpa angin yang semakin kencang. Lagi-lagi, Ki Sungging Adiluwih tak ingin mengumpat nasibnya, tetapi memohon izin sang Pencipta agar pisaunya itu kelak berkembang biak.
Konon, kantung tembakau itu jatuh di suatu tempat yang sekarang bernama Kudus, sebuah kota kabupaten yang memang terkenal karena kreteknya. Pisau Ki Sungging Adiluwih jatuh di suatu desa yang sekarang bernama Bareng, sebuah kota kecil di dekat Kudus yang populer dengan industri besi yang menghasilkan pisau, golok, parang, sabit, dan sejenisnya.
Konon, layang-layang Majapahit itu terus melaju ke utara, melintasi gunung dan laut sehingga tak diketahui lagi nasib dan kehidupan Ki Sungging Adiluwih. Sementara itu, salah seorang anaknya yang dahulu sempat melarikan diri di tengah peperangan telah berhasil menjadi pelukis istana di Kabupaten Lamongan, sedangkan yang seorang lagi diperkirakan menyeberang ke Pulau Bali.
 

Kesimpulan
Cerita ini merupakan dongeng yang pantas dilestarikan karena memberi pelajaran kepada kita tentang banyak hal yang penting untuk pembangunan moral dan mental.
Pertama. janganlah mudah menuduh orang lain tanpa alasan-alasan yang dapat dipercaya sebab kerugian yang tirnbul akan menyangkut banyak pihak. Kedua. keteguhan iman dalam mempertahankan kebenaran dan kejujuran harus dijadikan prinsip hidup seperti telah dilakukan oleh Ki Sungging. Ketiga. jangan gampang mengumpat jika mendapat musibah sebab setiap kejadian yang baik dan yang buruk pasti membuahkan hikmah di waktu mendatang. Keempat, berserah diri kepada Tuhan sang Pencipta Jagad Raya haruslah dilakukan dengan sepenuh hati.
Referensi : Cerita Rakyat dari kudus ( Jawa Tengah ) Oleh Yudiono K.S & Kismarmiati
Gambar:ditambahkan Investor
Lebih baru Lebih lama