Kota Kudus yang
sekarang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus di
Provinsi Jawa Tengah, pada zaman dahulu hanyalah sebuah desa kecil di bawah
kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kedudukannya tidak dianggap penting, kecuali
sebagai salah sate tempat persinggahan lalu lintas ekonomi dari pelabuhan
Jepara ke pedalaman Majapahit dan sebaliknya.
Pada
suatu saat, bermukimlah ke desa kecil itu seorang pedagang Cina bernama Sun
Ging. Selain berdagang, Sun Ging yang ahli ukir itu mengembangkan keterampilannya
mengukir sehingga banyaklah orang belajar mengukir di rumahnya. Lama-lama
keahlian Sun Ging tersiar sampai ke istana Majapahit sehingga dipanggillah Sun
Ging untuk mengukir hiasan-hiasan keraton. Setelah pekerjaan besar itu
terselesaikan dengan balk dan memuaskan, ditanyalah Sun Ging oleh sang Raja.
“Hadiah apakah yang
engkau inginkan dari Majapahit?”
“Sekiranya diizinkan, berilah
hamba sebidang tanah di tempat hamba bermukim selama ini, biarlah hamba kelak
mencangkulinya.”
“Mengapa tidak
memohon hadiah emas permata atau putri Majapahit yang cantik jelita?” tanya
sang Raja kemudian.
“Pada pendapat hamba, sebidang
tanah itu sudah sangat berharga bagi hamba sendiri. Tanah itu kelak dapat
dicangkuli sampai menghasilkan emas permata. Dengan demikian, hamba tak perlu
kembali ke negeri asal yang jauh.”
“Jika tak hendak kembali ke
tanah asalmu, apakah engkau sanggup berbakti kepada Majapahit?” kata sang Raja
seolah ingin menguji kesetiaan Sun Ging.
“Sekiranya diizinkan, hamba ingin mengabdi
sepenuh hati,” jawab ahli ukir itu dengan harapan akan segera menerima
hadiahnya. -
Setelah
menerima piagam hadiah itu, dengan gembira dan bangga Sun Ging memohon izin
kembali ke desanya dengan niat mendirikan sebuah perguruan ukir. Ternyata niat
itu pun terkabul, terbukti dengan semakin banyaknya orang yang belajar mengukir
di perguruan itu. Kemudian, desa itu terkenal dengan nama Sunggingan, karena
berasal dari nama pemiliknya Sun Ging, sedangkan akhiran -an berarti
tempat tinggal. Jadi, Sunggingan berarti tempat tinggal keluarga Sun Ging.
Akan tetapi, cerita lain
menyebutkan bahwa nama Sunggingan itu berarti tempat orang-orang menyungging
yang berarti melukis atau mengukir. Dalam bahasa Jawa, juru sungging
berarti ahli lukis atau tukang ukir. Dalam cerita ini disebutkan bahwa pemilik
Sunggingan ialah The Ling Sing, yaitu seorang pedagang Cina yang dalam cerita
terdahulu bernama Sun Ging.
Keramaian ekonomi desa
Sunggingan ternyata terns berkembang walaupun pusat pemerintahan Kerajaan
Majapahit di Jawa Timur sudah tak terdengar kabarnya. Hal itu memikat perhatian
Raden Patah yang sudah
berhasil
mendirikan Kerajaan Islam Demak Bintoro di Demak yang tak jauh dari desa itu.
“Desa Sunggingan itu kelak dapat
menjadi sebuah kota besar yang penting di dekat Jepara yang sudah berkembang
sebagai pelabuhan. Oleh karena itu, perlu segera diislamkan agar dapat
mendukung perkembangan Demak Bintoro,” pikir Raden Patah.
Tak lama kemudian,
diperintahkanlah kepada Syekh Jafar Sodiq, seorang ulama besar dari Persia, untuk
mengislamkan Sunggingan.
Mendengar perintah itu
berkemaslah Syekh Jafar Sodiq hijrah dari Demak Bintoro ke desa Sunggingan
dengan beberapa orang santri terdekatnya. Sesampai di sana terlihatlah sebuah
bangunan pintu gerbang Kerajaan Majapahit yang sudah tidak dipelihara orang.
Hal itu justru memberikan ilham bagi Syekh Jafar Sodiq untuk memugarnya kembali
agar memikat simpati masyarakat setempat yang masih memeluk agama Hindu sebagai
warisan kebesaran Majapahit.
Pada mulanya di gerbang atau
gapura itulah Syekh Jafar Sodiq mengundang masyarakat untuk mendengarkan
ajaran-ajaran barn yang disebut Islam. Caranya ialah dengan menambatkan seekor
sapi jantan yang gemuk di dekat gerbang itu. Masyarakat pun tertarik
menyaksikan sapi yang merupakan hewan terhormat dalam agama Hindu. Setiap kali
orang berkerumun di tempat itu, berkhotbahlah Syekh Jafar Sodiq untuk mengajak
masyarakat memeluk Islam. Berkat kesabaran, keramahan, dan kewibawaan
pribadinya maka dalam waktu singkat sebagian besar penduduk Sunggingan telah
memeluk agama Islam, termasuk The Ling Sing sendiri yang kemudian bergelar Kiai
Telingsing. Bahkan, Syekh Jafar Sodiq pun akhirnya bermukim di sana dan kelak
terkenal dengan sebutan Sunan Kudus.
setiap orang berkerumun di tempat itu,berkhotbahlah Syekh Jafar Sodiq
Sebagai tokoh
syiar Islam yang berasal dari negeri asing, wajarlah Syekh Jafar Sodiq
membawa-bawa. keagungan atau kebesaran negerinya sendiri. Hal itu
diperlihatkannya dalam membangun sebuah mesjid di dekat gerbang atau gapura
desa itu. Pada bagian kiblat mesjid itu dihiasi lempengan-lempengan batu hitam
yang berasal dari negeri Persia yang dipersamakan dengan batu Hajar Aswad di
Kakbah. Hiasan itu disebutnya Al Kuds yang berarti suci atau keramat. Tak lama
kemudian, mesjid itu pun dikenal masyarakat sekitarnya dengan sebutan mesjid
Kudus, yaitu sebuah mesjid yang dihiasi lempengan-lempengan batu AlKuds atau
batu-batu yang suci.
Apa yang diramalkan
Raden Patah ternyata menjadi kenyataan. Setelah Syekh Jafar Sodiq bermukim di
desa Sunggingan dan berhasil membangun sebuah pesantren, berkembanglah desa
atau wilayah itu. Semakin banyaklah orang dari berbagai daerah lain yang
berniat belajar mengaji dan mencari kehidupan barn dengan bertani, berdagang,
mengukir, dan sebagainya. Desa Sunggingan yang dirintis oleh The Ling Sing
berkembang menjadi pesantren dan kota yang oleh penduduk setempat disebut
Kudus, dan Syekh Jafar Sodiq pun kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kudus.
Gerbang atau gapura Majapahit
yang telah dipugar oleh Syekh Jafar Sodiq ternyata menjadi salah satu ciri khas
kota Kudus. Bangunan itu terkenal dengan sebutan Menara Kudus, aslinya berada
di dekat mesjid Sunggingan, sedangkan tiruannya didirikan di depan sebuah
pusat perbelanjaan kota Kudus. Ternpat lain yang bersangkutan dengan asal usul
kota itu ialah makam Kiai Telingsing yang nama aslinya The Ling Sing. Makam itu
terdapat di desa Sunggingan, sekarang hanya sebuah desa di dalam wilayah kota
Kudus yang semakin semarak perkembangannya.